Momen yang ditunggu-tunggu para santri akhirnya datang juga. KH Raden As'ad Syamsul Arifin (1890-1990 M) Asembagus Situbondo, Jawa Timur ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pemberian anugerah Pahlawan Nasional tersebut berlangsung di Istana Negara Jakarta, Rabu (9/11) oleh Presiden RI Joko Widodo.
“Kami, para santri beliau ikut senang dan bangga dengan penganugerahan ini,” ujar KH Abdul Moqsith Ghazali, salah seorang santri Kiai As’ad lewat keterangan tertulisnya kepadaNU Online, Rabu (9/11).
Menurutnya, Kiai As'ad memang pantas mendapatkan gelar ini. Beliau berperang mengusir para penjajah dari tanah air. Memimpin pasukan, keluar masuk hutan, membangun kekuatan melawan para penjajah. Para penjajah yang menguasai daerah eks keresidenan Besuki seperti Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo akhirnya bisa dipukul mundur.
“Namun, pada hemat saya, Kiai As'ad layak mendapatkan gelar pahlawan bukan hanya karena ikut berperang merebut kemerdekaan, tetapi ia juga berjuang melalui pendidikan. Pesantren yang didirikan bersama ayahandanya sejak tahun 1914 telah lama menjadi lembaga pendidikan murah bahkan gratis buat masyarakat tidak mampu,” urai Kiai Moqsith yang juga Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Kini di pesantrennya tak kurang dari lima belas ribu santri yang belajar di sana, dari paling bawah seperti TK hingga perguruan tinggi. Para santri tak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman tradisional melainkan juga ilmu-ilmu umum seperti kelautan, informatika, dan pertanian.
Tak hanya itu, lanjut Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini, ketika banyak ulama ragu-ragu untuk menerima Pancasila, bersama sejumlah ulama lain Kiai As'ad menegaskan pentingnya merujuk Pancasila terutama untuk mengatasi soal-soal kebangsaan dan kenegaraan.
“Suatu waktu Kiai As'ad bercerita bahwa dirinya menerima surat kaleng dari orang-orang yang anti Pancasila. Tapi, Kiai As'ad tak menghiraukannya. Bagi Kiai As'ad, Pancasila tak bertentangan dengan Islam. Bahkan, menurutnya, sila pertama Pancasila merupakan cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam,” ungkapnya.
Semangat berjuang membela negara dan memperbaiki pendidikan umat itu terus diinjeksikan pada para santrinya. Empat tahun menjadi santrinya, Moqsith sering mendengar ceramah-ceramahnya terkait kebangsaan dan kenegaraan, di samping soal keislaman.
Mendengar ceramah-ceramah Kiai As'ad seperti membaca buku-buku sejarah. Ini karena beliau salah seorang pelaku sejarah. Namun, di ujungnya pidatonya, Kiai As'ad biasanya berpesan agar kisah perjuangannya tak dituliskan.
“Bahkan, ketika salah seorang intelektual NU menawarkan diri untuk menulis biografinya, Kiai As'ad marah. Ia merasa, perjuangannya tak pantas untuk dicatat,” terang kiai yang juga pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menandaskan, tentu gelar kepahlawanan ini bukanlah cita-citanya. Semua gerak langkahnya hanya diniatkan untuk memperoleh Ridha Allah SWT, bukan untuk memperoleh anugerah duniawi seperti ini. Tapi, seperti dikatakan banyak orang, negara besar adalah negara yang pandai menghargai para pejuangnya.
Sumber : nu.or.id
Komentar
Posting Komentar